Amerta Kasih AllahSample

Ketulusan di Hadapan Tuhan
Hampir setiap orang beragama cukup terbiasa melakukan berbagai tradisi ritus keagamaan, baik yang sifatnya individual maupun komunal. Namun, persoalan yang cukup esensial dan perlu untuk digumuli oleh setiap orang yang melakukannya adalah ‘Apakah saya benar-benar memahami alasan dan tujuan dalam melakukan hal tersebut?’ Artinya, sebuah tindakan hidup beriman tentu baik dan penting untuk dilakukan. Namun, hal tersebut akan menjadi minim dampak atau bahkan berubah sia-sia jika dijalankan sebagai sebuah rutinitas yang tanpa alasan dan tujuan dari si pelaku. Oleh sebab itu, memiliki landasan pemahaman, alasan, dan tujuan yang jelas serta tepat adalah penting bagi setiap umat Tuhan untuk menjalani setiap bentuk pengabdiannya kepada Tuhan. Salah satu bentuk dari tindakan-tindakan tersebut yang akan kita renungkan secara lebih mendalam adalah perihal ‘pertobatan’.
Bertobat merupakan sebuah praktik yang tentu diketahui oleh setiap umat beragama. Namun, apakah setiap orang benar-benar mampu memahami dan memaknainya secara mendalam? Berdasarkan firman Tuhan yang tertulis dalam kitab nabi Yoel terdapat sebuah kata yang juga menjadi landasan dari kata ‘bertobat’. Di dalam Yoel 2:12, melalui nabi Yoel, Tuhan menyerukan bangsa Israel untuk ‘berbalik’ (Ibr. שׁוּב, shub) kepada-Nya. Mereka telah berjalan menjauhi (membelakangi) Tuhan yang menandakan segala bentuk kehidupan yang mereka bangun adalah bertentangan dan menolak Tuhan. Itulah mengapa, nabi Yoel diutus untuk menyerukan pertobatan bagi seluruh umat untuk menghadapi hari penghakiman yang segera datang, seperti yang tergambar pada ayat 1 dan 2. Pertobatan yang dimaksud pun bukanlah sebatas ritus berisi rangkaian kata-kata puitis yang terkesan pilu seperti yang nabi Yoel katakan, “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu…”
Sebuah pertobatan yang sejati merupakan tindakan yang berasal dari kesungguhan hati yang menyadari dan menyesali segala keberdosaan yang dilakukan kepada Tuhan. Seseorang yang melakukan pertobatan berarti ia mengambil keputusan untuk mengubah arah hidupnya, yang semula bertentangan dan melawan Tuhan, menjadi sikap hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan serta menyenangkan-Nya. Inilah mengapa di dalam pesan kenabiannya, nabi Yoel berkata bahwa sebuah pertobatan bukanlah sesuatu yang bersifat ‘keindahan’ di luar, melainkan kualitas dari dalam. Pertobatan bukanlah sebuah tampilan tanpa nilai, melainkan wujud keseriusan seorang umat yang berkomitmen untuk menjalani hidup selaras dengan nilai kebenaran firman Tuhan. Sebuah pertobatan yang sejati juga tidak akan mungkin dilakukan dalam kepalsuan atau kepura-puraan. Setiap orang yang bertobat akan dengan sungguh-sungguh melakukannya dalam komitmen, ketulusan, dan kejujuran di hadapan Tuhan yang kemudian akan disertai adanya perubahan sikap hidup selaras dengan nilai firman Tuhan.
Nilai kemurnian dan ketulusan ini pula yang muncul dalam Matius 6, tepatnya sebagai pengajaran yang Tuhan Yesus berikan kepada orang banyak yang mengikuti-Nya. Paling tidak ada tiga hal yang dirujuk oleh Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya pada bacaan ini, yaitu perihal bersedekah, berdoa, dan berpuasa. Ketiganya merupakan praktik keagamaan yang lazim dilakukan pada masa itu, terkhusus oleh orang-orang Yahudi. Lantas, nilai apa yang berbeda di dalam pengajaran Yesus tersebut? Hal ini terletak pada kemurnian alasan dan ketulusan tujuan pada tiap kali melakukan hal tersebut. Tuhan Yesus sangat menegaskan agar orang-orang yang mendengarkan-Nya pada saat itu tidak terjebak pada rutinitas minim makna; agar mereka tidak melakukan semua kebiasaan itu dengan kepalsuan atau hanya untuk dilihat orang (pencitraan yang buruk); dan, agar mereka memahami bahwa setiap kegiatan yang mereka lakukan itu semestinya menjadi praktik iman yang semakin meningkatkan kualitas relasi antara mereka, sebagai umat, dengan Tuhan. Inilah alasan dan tujuan paling utama yang tidak boleh tergantikan oleh apa pun selain dari Tuhan itu sendiri.
Pengajaran yang diberikan oleh Tuhan Yesus itu pun tidak hanya menjadi relevan untuk kehidupan para umat pada ribuan tahun yang lalu, melainkan juga sangat penting untuk kita renungkan pada masa sekarang. Tidak dapat dipungkiri, entah sadar maupun tidak, entah mau diakui maupun ditampik, sebagai manusia kita selalu memiliki kecenderungan untuk memenuhi ego maupun menjalani hidup sesuai dengan pertimbangan yang kita anggap baik dan benar. Padahal, belum tentu semuanya sesuai dengan kehendak Tuhan. Alhasil, kita menjalani hidup dengan berpusat pada diri sendiri, bukan berpusat pada Tuhan. Hal ini juga dapat terjadi ketika kita menjalani berbagai praktik iman, termasuk beragam ritus yang sifatnya personal maupun komunal, entah pada saat kita memberikan persembahan, melakukan ibadah Minggu, berbagi kepada sesama, bahkan pada saat mengaku dosa di hadapan Tuhan.
Oleh sebab itu, seruan pertobatan seperti yang muncul pada kitab nabi Yoel adalah sebuah ajakan untuk kita lakukan pada hari Rabu Abu ini untuk terus kita lanjutkan, terkhusus selama menjalani masa pra-Paskah. Kita perlu menjalani seluruh rangkaian hari pada masa pra-Paskah ini sebagai kesediaan untuk mengarahkan hati dan pikiran sepenuhnya kepada Tuhan. Kita perlu benar-benar mempersiapkan diri untuk mengalami hidup dan keselamatan yang Tuhan kerjakan. Penderitaan Kristus yang harus Ia alami demi menggantikan manusia dari segala konsekuensi dosa semestinya menyadarkan kita untuk tertunduk malu dan tidak lagi berusaha untuk memanipulasi kasih-Nya yang abadi dan tanpa syarat.
Pertanyaan Refleksi
Apakah Anda siap menjalani masa Pra-paskah untuk menghayati dengan sungguh segala penderitaan yang dialami oleh Yesus Kristus, sang Juru Selamat, demi menghadirkan penebusan bagi dunia?
About this Plan

"Amerta Kasih Allah" adalah kumpulan renungan masa raya Paskah dari Rabu Abu hingga hari Paskah yang disusun oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) berdasarkan The Revised Common Lectionary (RCL) Tahun A. Judul ini menekankan kasih Allah yang abadi, khususnya melalui karya penyelamatan Yesus Kristus dalam peristiwa salib dan kebangkitan-Nya. Masa Pra-Paskah selama 40 hari menjadi waktu perenungan agar umat Kristen dapat mempersiapkan diri dalam menghayati kasih Tuhan yang tanpa syarat. Dengan sebelas renungan yang tersedia, kami berharap umat dapat memahami makna keselamatan secara lebih mendalam dan tidak hanya sekadar menjalani perayaan sebagai rutinitas.
More
Related Plans

Stormproof

Breath & Blueprint: Your Creative Awakening

FruitFULL - Faithfulness, Gentleness, and Self-Control - the Mature Expression of Faith

The Lies We Believe: Beyond Quick Fixes to Real Freedom Part 2

Unapologetically Sold Out: 7 Days of Prayers for Millennials to Live Whole-Heartedly Committed to Jesus Christ

Homesick for Heaven

Let Us Pray

Faith in Hard Times

Judges | Chapter Summaries + Study Questions
